Tuesday, December 20, 2016

Keren, Ini Seniman Indonesia Yang Berhasil Menjadi Finalis Penghargaan Singapura


Seniman Indonesia, Arahmaiani menjadi satu dari tiga finalis penerima penghargaan bergengsi Joseph Balestier Award. Penghargaan yang diusung Art Stage Singapore dan Kedutaan Besar AS di Singapura ini diberikan pada seniman atau kurator dari Asia Tenggara yang aktif dalam menyampaikan kebebasan berekspresi melalui karya-karyanya.

Selain ia, dua finalis lainnya yakni Aye Ko dan Chaw Ei Thein, keduanya dari Myanmar.

Art Stage Singapore mengumumkan tiga finalis penerima penghargaan bergengsi Joseph Balestier Award untuk Freedom of Art 2017 ini akhir pekan lalu. Pemenang yang terpilih akan menerima hadiah sebesar US$150,000.

Dalam pernyataan resmi yang diterima redaksi CNNIndonesia.com, terpilihnya Arahamaini sebagai finalis, karena ia dianggap sebagai salah satu seniman kontemporer ikonik dan disegani dari Indonesia yang terkenal berkat karya-karyanya penuh muatan kritik akan isu sosial dan budaya. Karya artistiknya merentang melalui berbagai media, di antaranya video, instalasi, lukisan, gambar dan pahatan.

Aktif berkiprah sejak 1980 dan 1990-an, Arahmaiani telah mengkukuhkan dirinya sebagai pionir dalam seni pertunjukan di Asia Tenggara. Karya-karyanya merupakan bentuk ekspresi akan pemikiran yang dalam akan invetsigasi persoalan politik, sosial dan budaya.

Selain Arahmaiani, dua finalis lainya yakni Aye Ko dan Chaw Ei Thein.

Aye Ko merupakan salah seorang seniman asal Myanmar yang disegani lewat seni pertunjukan yang kerap dihadirkannya. Dalam kurun waktu dua dekade ia membuat karya yang mengupas persoalan politik dan lingkungan. Pada 2008, Aye Ko dan timnya membangun Ne Zero Art Space sebagai medium berbagi gagasan dan kreativitas dengan publik lebih luas.

Sementara, Chaw Ei Thein mencuri perhatian dunia pada pertengahan 1990-an ketika ia menampilkan karya-karyanya, begitu juga pada 2008 ketika ia menampilkan September Sweetness. Hingga hari ini ia meneruskan kesempatan bagi seniman Burma untuk berbagi karya-karyanya, sembari mendorong adanya dialog partisipasi aktif dengan komunitas seniman di Yangon.

Kebebasan berekspresi

Kirk Wagar, Duta Besar AS untuk Singapura, mengatakan ketiga finalis membuka hadirnya dialog baru akan isu penting dalam masyarakat dan seluruh dunia.

"Di tahun ke-tiga penyelenggaraannya penghargaan ini mencari seniman yang mendorong kreativitas dan kebebasan berekspresi lintas batas," ungkapnya dalam pernyataan resmi.

Lorenzo Rudolf, pendiri dan presiden Art Stage Singapore turut menyampaikan selamat atas terpilihnya ketiga finalis.

"Dua dari tiga finalis adalah seniman wanita yang menyampaikan pesan kuat akan posisi wanita dalam masyarakat kita saat ini," ujarnya.

Sebagai seniman, para finalis ini berupaya mengangkat hal-hal penting agar menjadi perhatian dunia, baik isu politik maupun sosial budaya di negara tempat mereka berasal.

Partisipasi mereka di Award ini akan turut menempatkan perhatian akan wanita dan kesetaraan gender tidak hanya di kawasan Asia tapi juga dunia.

Adapun para juri dalam penghargaan in antara lain, Profesor Ute Meta Bauer, Direktur Centre for Contemporary Art (CCA) Singapura, Zoe Butt, Direktur Artistisk The Factory Contemporary Art Centre, Vietnam dan Enin Supriyanto, penulis dan kurator seni independen Indonesia.

Pemenang penghargaan akan dimumumkan pada 10 Januari mendatang.

Arahmaiani, Seniman Indonesia Finalis Joseph Balestier AwardArahmaiani menjadi satu dari tiga finalis penerima penghargaan Joseph Balestier Award. (Foto: Dok. Art Stage Singapore)

Siapa Arahmaiani

Aramaiani lahir di Bandung, pada 21 Mei 1961. Bernama lengkap Arahmayani Feisal, ia pernah menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung, lalu di Sydney, Australia dan Enschede Belanda.

Dalam profil para finalis yang dirilis Art Stage Singapore, Aramaiani disebutkan sebagai seniman yang sudah aktif sejak 1980-an. Karya-karyanya telah dipamerkan di lebih dari ratusan pameran solo dan juga bersama di seluruh dunia. 

Pada awal 2014, Tyler Rollins Fine Art menggelar pameran solonya di AS, berjudul Fertility of the Mind. Pameran in menampilkan karya dalam rentang waktu 30 tahun berkarya, termasuk salah satunya instalasi seni penting yang dibuat 1990-an, lukisan terpilih dan video 2004, berjudul I Dont Want to Be Part of Your Legend. Pameran tersebut memetakan proses kreatifnya sebagai seorang seniman yang kritis akan isu sosial politik di sekitarnya.

Pada sebuah pameran 1996 bertajuk Traditions/Tensions, Arahmaiani juga turut berparisipasi. Pameran masyarakat Asia di New York City ini menghadirkan karya lewat bahan multimedia dan mengeksplorasi tema seksualitas dan spiritualitas dalam budaya kontemporer. Pada 2007, ia kembali ke New York sebagai bagian dari pameran bersama Global Feminism, di Brooklyn Museum.

Tiga tahun setelahnya, ia terlibat dalam satu proyek seni bersama biksu dan masyarakat di kawasan Tibet. Karyanya yang diberi judul Memory of Nature mengangkat tema pelestarian lingkungan, dengan turut menampilkan budaya setempat. Pada September 2014 lalu, ia berpartisipasi dalam Chain of Fire pameran awal untuk gelaran 2016 Honollulu Biennial.

Pameran bergengsi lain yang pernah ia ikuti di antaranya Suspended Histories di Museum van Loon di Amsterdam, Women in Between: Asian Women Artists 1984-2012 di Mie Prefectural Art Museum di Jepang, Venice Biennale (2003), dan lainnya. Karya-karya Arahmaiani telah berpameran di sejumlah negara di Asia, Amerika, Australia dan Eropa.

Sumber: cnnindonesia

No comments:

Post a Comment